Selasa, 10 Februari 2015
0 komentar

Kisah Antara Cangkul dan Kapak

08.00
Tepat di desa Sreni Mayong, tepatnya di daerah persawahan Kabupaten Jepara. Hiduplah keluarga bahagia, Keluarga Pak Paijo. Pak Paijo aktivitasnya tidak jauh dari bercocok tanam. Beliau pergi pagi, pulang pagi hanya untuk mengais rizeki dari profesi tukang kebun. Wajar sajalah beliau hanya buruh kebun yang mengandalkan keuletan dan kedisiplinan yang tinggi.

Ketika embun pagi sudah mulai datang. Burung Gelatik bernyanyi di depan gubuk Pak Paijo. Seperti biasa beliau mandi tepat di samping gubuk istananya dengan sumber air pegunungan. Sesudah beliau bersih diri, beliau tidak sarapan pagi. Hal ini dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan, tidak sarapan pagi.

Matahari sudah memancarkan terik sinarnya. Pak Paijo yang berdiri di depan teras gubuknya. Beliau bergegas ke kebun majikannya untuk menanam bibit pohon Mangga. Cangkul di pundaknya, dan kapak di pegang erat tangan kanannya. Beliau berjalan penuh semangat karena ini adalah bagian dari rizekinya.

Sesampai di kebun, Pak Paijo terdiam dan memperhatikan sekitar kebun itu. Ternyata banyak sekali rumput yang berkeliaran mengitari pohon-pohon lainnya. Tanpa membuang waktu, beliau pun melemparkan kapak itu ke tanah. Kemudian cangkul dipundaknya beliau gunakan untuk membuang rumput – rumput liat tersebut.

Cangkul kelelahan bekerja membersihkan rumput tersebut, dan selanjutnya cangkul harus bekerja lebih giat lagi untuk membantu pekerjaan Pak Paijo. Rumput hilang sudah, Akhirnya cangkul ditaruh pelan-pelan ke tanah. Sekarang giliran Kapak yang memotong pohon mangga lama untuk diganti bibit pohon Mangga baru. Tidak lama kemudian Kapak kelelahan karena harus memotong satu demi satu batang pohon. Akhirnya kapak berhenti bekerja dan beristirahat meletakkan badan Kapak di samping Cangkul.

Adzan Dzhurpun berkumandang, Pak Paijo pun memberhentikan pekerjaannya. Beliau menaruh Cangkul dan Kapak tepat di Bawah Pohon Mangga. Tidak lama kemudian timbulah percakapan antara Cangkul dan Kapak :

Cangkul           : Hai Kapak yang sok Jagoan, gimana rasanya tadi dilempar ke tanah sama Pak Paijo? Terus gimana rasanya memotong dahan dan batang pohon, sehingga kau lelah tak berdaya?

Kapak              : hem… (diam seribu bahasa, karena Kapak tahu kalau Cangkul itu mulut besar dan suka merendahkan yang lainnya)

Cangkul           : Apa sekarang kau sudah tidak menerima takdirmu? Kalau Kapak itu tidak bisa berbuat apa – apa, anggap saja sebagai Tukang Potong. Atau mungkin Kapak kemampuannya hanya begitu saja????

Kapak              : hem (berfikir dan terus merenungi, kenapa Kapak mudah putus asa dan tidak memotongnya secara kontinu, satu demi satu)

Cangkul           : Ok lah, kalo begitu gimana kalau aku tantang kamu buat membantu Pak Paijo. Kamu menyelesaikan pekerjaanku dan aku akan menyelesaikan pekerjaan kamu? Gimana? Mau gak? Kalau gak mau berarti kamu gak ada bedanya dengan rumput sampah!!!

Kapak              : (sambil berfikir) hem.. Ok aku terima tantanganmu itu, tapi ingat kita harus fair. Tidak ada yang boleh berhenti sebelum matahari terbenam dengan catatan menyerah dan melepaskan tantangan itu.

Cangkul           : Ok, siap.. kita tunggu Pak Paijo yang lagi sholat Dzuhur.

Kapak              : Ok, siapa takut…

Merekapun saling bekerja sesuai tantangan masing – masing. Cangkul memotong kayu pohon mangga dan Kapak melubangi tanah untuk penanaman bibit baru. Hari pun semakin sore, matahari mulai menampakkan terik kelabunya pertanda sore sudah tiba. Apa yang terjadi dengan mereka, ternyata Cangkul ketika melakukan tugasnya, Cangkul kesulitan karena harus memotong batang pohon mangga, dan dia khawatir kondisinya yang justru akan merusak dirinya.

Lain halnya dengan kapak, begitu asyik melubangi tanah satu demi satu, tidak sulit memang kapak dalam bekerja tetapi ada halangan yaitu harus membutuhkan waktu lama. Kapak mengggali tanah sedalam mungkin tapi alhasil Kapak kesulitan untuk mengangkat tanah tersebut karena tanah sudah banyak yang tertumpuk.

Tidak lama kemudian Cangkul menyerah, sepertinya dia terluka parah, badan tajamnya kini sudah tumpul akibat kerasnya batang pohon.  Kapak pun juga sama demikian, dia badannya tetap segar, karena lembutnya tanah sangat mudah dilaluinya. Namun, dia kesulitan ketika harus mengangkat tanah tersebut. Badan mungilnya yang tajam hanya mampu membuat lubang tanah saja.

Alhasil, Cangkulpun menghampiri Kapak. “Sungguh sobat, aku tak mampu melanjutkan tantangan ini” dengan nada pelan Cangkul berkata di depan Kapak yang terus melanjutkan tantangannya. Kapak hanya melanjutkan pekerjaannya dan melempar senyum abadi ke Cangkul. “Apa kau mendengarkan aku wahai Kapak, taukah kamu badanku tersiksa harus memotong batang ini hingga badan tajamku kini sudah tumpul” ujar Cangkul dengan sedikit menyesalnya. “Hem bukankah itu yang kau mau wahai Cangkul, kau terlalu bangga dengan dirimu dan kehebatanmu sehingga kau lupa untuk bersyukur kepada Sang pencipta” Ujar Kapak dengan nada lantang dan tegas kepada Cangkul yang masih diam dengan pemikirannya.

“Aku sudah lama membiarkan kamu agar kamu berfikir, bagaimana kamu bisa menghargai yang lain,sehingga kau mendholimi diri kamu sendiri. Lihatlah badanmu penuh luka, harusnya kau nyaman dengan menggali tanah karena itu takdirmu diciptakan” Kapak bernada tinggi dan memandang Cangkul dengan wajah serius.

Cangkul terdiam dan terpaku malu karena perbuatannya. Kapak pun melanjutkan bicara “ Aku bersyukur bisa melakukan tugasku sedikit demi sedikit, dilihatnya sangat lama tapi bukan hasil yang aku inginkan tetapi proses memotong itu yang aku nikmati. Karena aku harus berfikir sebelum memotong batang pohon Manggga itu”.

Cangkulpun menyahutnya, “Aku mengerti kawan,  terus bagaimana dengan kamu dan tantanganku tadi” dengan nada masih belum sadar kekalahannya. Kapakpun berkata “ Ini lebih dari cukup, aku sudah menerima tantanganmu itu. Menggali tanah dengan badanku dan aku pun senang menikmati pekerjaan itu. Namun, Aku kesulitan untuk mengangkat tanah itu karena badanku terlalu kecil”.

“Hem badan kamu tidak kenapa – kenapa sobat, kamu tetap segar dan kuat. Sedangkan Aku sudah cacat gini, sepertinya Pak Paijo menyesal melihat tingkahku. Kita harus bagaimana sobat, supaya tugas kita selesai, soalnya hari sudah mulai sore” Ujar Cangkul seraya meminta pendapat kepada Kapak yang bijaksana.

Kapakpun menyahutnya “Ya sudahlah, sekarang kita bekerja sama untuk membantu Pak Paijo. Aku bekerja sesuai kemampuanku dan kamu melanjutkan pekerjaannku untuk mengangkat tanah dari galian itu. Ingat waktu kita tinggal satu jam lagi, kita harus semangat dan tak boleh menyerah sebelum kita benar-benar selesai melakukannya. “Ok, terimakasih kawan’ Ujar Cangkul dengan balasan “Terimakasih kembali wahai sobatku” Ujar Kapak dan bergegas memotong pohon Mangga tersebut.

Tiga puluh menit kemudian, mereka begitu asik melakukan pekerjaan masing – masing. Gembira ria bisa tertawa lepas membantu Pak Paijo. Cangkul sudah menyelesaikan pekerjaannya untuk mengangkat tanah tersebut, dan Kapak pun selesai memotong Batang Pohon Mangga.

Sejam kemudian, Pak Paijo menanam bibit mangga tersebut dan menyiramnya. Hari sudah mulai senja, Beliau pun bergegas untuk pulang ke gubuk istananya. Cangkul dan Kapakpun tersenyum senang, melihat Pak Paijo yang sudah bisa menyelesaikan pekerjaannya. Akhirnya Pak Paijo pun berjalan kaki sambil bernyanyi ria menuju istana gubuknya.(asa)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer
Top