Fakta Syar’i
10. Seberapa besarkah pemanfaatan tembakau sebagai rokok di Indonesia?
Departemen Kesehatan, Fakta Tembakau
Indonesia: Data Empiris untuk Strategi Nasional Penanggulangan Masalah
Tembakau, 2004 menyatakan bahwa pemanfaatan tembakau untuk konsumsi
dalam bentuk rokok adalah 98% dan hanya 2% untuk penggunaan lainnya.
11. Apakah yang terkandung di dalam rokok sehingga dapat membahayakan kesehatan tubuh?
Rokok ditengarai sebagai produk berbahaya
dan adiktif serta mengandung 4000 zat kimia, di mana 69 di antaranya
adalah karsinogenik (pencetus kanker) dikutip dari “Fakta Tembakau di
Indonesia”, TCSC-IAKMI Fact Sheet, hlm. 1. Beberapa zat berbahaya di
dalam rokok tersebut di antaranya tar, sianida, arsen, formalin,
karbonmonoksida, dan nitrosamin.
Kalangan medis dan para akademisi telah
menyepakati bahwa konsumsi tembakau adalah salah satu penyebab kematian
yang harus segera ditanggulangi. Bahkan Sampoerna-Philip Morris telah
mengakui hal ini dan menyatakan, “Kami menyetujui konsensus kalangan
medis dan ilmiah bahwa merokok menimbulkan kanker paru-paru, penyakit
jantung, sesak nafas, dan penyakit serius lain terhadap perokok. Para
perokok memiliki kemungkinan lebih besar untuk terkena penyakit serius
seperti kanker paru-paru daripada bukan perokok. Tidak ada rokok yang
‘aman’. Inilah pesan yang disampaikan lembaga kesehatan masyarakat di
Indonesia dan di seluruh dunia. Para perokok maupun calon perokok harus
mempertimbangkan pendapat tersebut dalam membuat keputusan yang
berhubungan dengan merokok.”
Direktur Jenderal WHO, Dr. Margareth
Chan, melaporkan bahwa epidemi tembakau telah membunuh 5,4 juta orang
pertahun lantaran kanker paru dan penyakit jantung serta penyakit lain
yang diakibatkan oleh merokok. Itu berarti bahwa satu kematian di dunia
akibat rokok untuk setiap 5,8 detik. Apabila tindakan pengendalian yang
tepat tidak dilakukan, diperkirakan 8 juta orang akan mengalami kematian
setiap tahun akibat rokok menjelang tahun 2030. Selama abad ke-20, 100
juta orang meninggal karena rokok dan selama abad ke-21 diestimasikan
bahwa sekitar 1 milyar nyawa akan melayang akibat rokok. Sumber: WHO Report on the Global Tobacco Epidemic, 2008: The MPOWER Package (Geneva: World Health Organization, 2008), hlm. 7.
12. Apa dampak kesehatan keluarga apabila terdapat anggota keluarga perokok?
Kematian balita di lingkungan orang tua
merokok lebih tinggi dibandingkan dengan orang tua tidak merokok baik di
perkotaan maupun di pedesaan. Kematian balita dengan ayah perokok di
perkotaan mencapai 8,1% dan di pedesaan mencapai 10,9%. Sementara
kematian balita dengan ayah tidak merokok di perkotaan 6,6% dan di
pedesaan 7,6% (Richard D. Semba dkk., “Paternal Smoking and Increased Risk and Infant and Under-5 Child Mortality in Indonesia,”
American Journal of Public Health, Oktober 2008, sebagaimana dikutip
dalam “Fakta Tembakau Indonesia”, TCSC-IAKMI Fact Sheet, hlm. 2.).
Risiko kematian populasi balita dari
keluarga perokok berkisar antara 14% di perkotaan dan 24% di pedesaan.
Dengan kata lain, 1 dari 5 kematian balita terkait dengan perilaku
merokok orang tua. Dari angka kematian balita 162 ribu pertahun (Unicef,
2006), maka 32.400 kematian dikontribusi oleh perilaku merokok orang
tua. Sumber: Richard D. Semba dkk., “Paternal Smoking and Increased Risk and Infant and Under-5 Child Mortality in Indonesia,”
American Journal of Public Health, Oktober 2008, sebagaimana dikutip
dalam “Fakta Tembakau Indonesia”, TCSC-IAKMI Fact Sheet, hlm. 2.
13. Apakah ada fakta yang menyatakan bahwa merokok dapat meningkatkan angka kemiskinan?
Adalah suatu fakta bahwa keluarga
termiskin justru mempunyai prevalensi merokok lebih tinggi daripada
kelompok pendapatan terkaya. Angka-angka SUSENAS 2006 mencatat bahwa
pengeluaran keluarga termiskin untuk membeli rokok mencapai 11,9%,
sementara keluarga terkaya pengeluaran rokoknya hanya 6,8%. Pengeluaran
keluarga termiskin untuk rokok sebesar 11,9% itu menempati urutan kedua
setelah pengeluaran untuk beras. Fakta ini memperlihatkan bahwa rokok
pada keluarga msikin perokok menggeser kebutuhan makanan bergizi
esensial bagi pertumbuhan balita. Sumber: “Konsumsi Rokok dan Balita Kurang Gizi”, TCSC-IAKMI Fact Sheet, hlm. 4.
Ini artinya balita harus memikul risiko
kekurangan gizi demi menyisihkan biaya untuk pembelian rokok yang
beracun dan penyebab banyak penyakit mematikan itu. Ini jelas
bertentangan dengan perlindungan keluarga dan perlindungan akal
(kecerdasan) dalam maqâshid asy-syarî’ah yang menghendaki pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta pengembangan kecerdasan melalui makanan bergizi.
14. Apakah dampak sosial-ekonomi lainnya terhadap produk tembakau ini?
- Survey selama tahun 1999-2003 pada lebih dari 175 ribu keluarga miskin perkotaan di Indonesia menunjukkan 3 dari 4 kepala keluarga (74%) adalah perokok aktif (Richard D. Semba, Leah M. Kalm, Saskia de Pee, Michelle O. Ricks, Mayang Sari and Martin W. Bloem, Paternal smoking is associated with increased risk of child malnutrition among poor urban families in Indonesia, Public Health Nutrition, January 2007.).
- Belanja mingguan untuk membeli rokok menempati peringkat tertinggi (22%), bahkan lebih besar dari pengeluaran makanan pokok yaitu beras (19%). Perilaku merokok kepala rumah tangga miskin berhubungan secara bermakna dengan gizi buruk pada balita.
- Belanja rokok menggeser kebutuhan makanan bergizi yang esensial untuk tumbuh kembang balita. Pada keluarga miskin kota perokok ditemukan prevalensi balita berat badan sangat rendah 6,3%, sangat pendek 7%, dan sangat kurus 1%. Balita kurang gizi bersiko mengalami keterlambatan perkembangan mental, meningkatkan mordibitas dan mortalitas akibat rentan terhadap penyakit. Konsekuensi jangka panjang adalah prestasi sekolah buruk, kapasitas intelektual lemah, dan kemampuan kerja kurang, sehingga mengancam hilangnya sebuah generasi (Fact Sheet TCSC-AKMI, Fakta Tembakau di Indonesia).
- Risiko kematian populasi balita dari keluarga perokok berkisar antara 14% di perkotaan dan 24% di pedesaan, atau 1 dari 5 kematian balita berhubungan dengan perilaku merokok orang tua (Richard D. Semba, Saskia de Pee, Kai Sun, Cora M. Best, Mayang Sari and Martin W. Bloem, Paternal Smoking and IncreasedRisk of Infant and Under-5 Child Mortality in Indonesia, American Journal of Public Health, October 2008.).
- Tahun 2004, satu dari tiga (33%) remaja laki-laki usia 15-19 tahun adalah perokok aktif. Tren menunjukkan, umur mulai merokok makin belia (BPS, Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2006).
- Amerika dan beberapa negara Eropa semakin membatasi peredaran rokok dalam rangka melindungi anak dan keluarga, sehingga industri rokok di Barat dengan segala cara memindahkan pasarnya ke Indonesia.
- Peningkatan tertinggi perokok justru terjadi pada kelompok remaja umur 15 – 19 tahun, dari 7,1% (1995), menjadi 12,7% (2001) dan 17,3% (2004) atau naik 144% dari kurun waktu tahun 1995 – 2004 (BPS, Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2006).
15. Bagaimana dengan nasib petani tembakau yang terancam mata pencahariannya?
Justru fatwa ini momen bagi para petani
tembakau untuk beralih kepada komoditi lain yang bernilai lebih tinggi
daripada tembakau untuk rokok. Dikaitkan dengan aspek sosial-ekonomi
tembakau, data menunjukkan bahwa peningkatan produksi rokok selama
periode 1961-2001 sebanyak 7 kali lipat tidak sebanding dengan perluasan
lahan tanaman tembakau yang konstan bahkan cenderung menurun 0,8% tahun
2005. Ini artinya pemenuhan kebutuhan daun tembakau dilakukan melalui
impor. Selisih nilai ekspor daun tembakau denagn impornya selalu negatif
sejak tahun 1993 hingga tahun 2005. Sumber Deptan, Statistik Pertanian,
Jakarta, 2005, sebagaimana dikutip dalam “Fakta Tembakau di Indonesia”,
TCSC-IAKMI Fact Sheet, h. 3.
Selama periode tahun 2001-2005, devisa
terbuang untuk impor daun tembakau rata-rata US$ 35 juta. Bagi petani
tembakau yang menurut Deptan tahun 2005 berjumlah 684.000 orang,
pekerjaan ini tidak begitu menjanjikan karena beberapa faktor. Mereka
umumnya memilih pertanian tembakau karena faktor turun-temurun.
Tidak ada petani tembakau yang murni;
mereka mempunyai usaha lain atau menanam tanaman lain di luar musim
tembakau. Mereka tidak memiliki posisi tawar yang kuat menyangkut harga
tembakau. Kenaikan harga tembakau tiga tahun terakhir tidak membawa
dampak berarti kepada petani tembakau karena kenaikan itu diiringi
dengan kenaikan biaya produksi. Pendidikan para buruh tani rendah, 69%
hanya tamat SD atau tidak bersekolah sama sekali, dan 58% tinggal di
rumah berlantai tanah. Sedang petani pengelola 64% berpendidikan SD atau
tidak bersekolah sama sekali dan 42% masih tinggal di rumah berlantai
tanah.
Upah buruh tani tembakau di bawah Upah
Minimum Kabupaten (UMK): Kendal 68% UMK, Bojonegoro 78% UMK, dan Lombok
Timur 50% UMK. Upah buruh tani tembakau termasuk yang terendah, perbulan
Rp.94.562, separuh upah petani tebu dan 30% dari rata-rata upah
nasional sebesar Rp. 287.716,- perbulan pad atahun tersebut.
Oleh karena itu 2 dari 3 buruh tani
tembakau menginginkan mencari pekerjaan lain, dan 64% petani pengelola
menginginkan hal yang sama. Sumber: Petani Tembakau di Indonesia,
TCSC-IAKMI Fact Sheet, h. 1-3. Ini memerlukan upaya membantu petani
pegelola dan buruh tani tembakau untuk melakukan alih usaha dari sektor
tembakau ke usaha lain.
16. Apa pengaruh iklan, sponsorship dan promosi terhadap pertumbuhan konsumsi merokok?
Iklan rokok lebih ditujukan mencari
perokok baru, terutama anak dan remaja yang sekali terjerat akan lama
jadi perokok. Bagi pecandu rokok, dengan atau tanpa iklan ia akan tetap
mencari rokok karena tak dapat lepas dari cengkraman rokok. 46,3% remaja
berpendapat iklan rokok memiliki pengaruh besar untuk memulai merokok
dan 41,5% remaja berpendapat keterlibatan dalam kegiatan yang disponsori
industri rokok memiliki pengaruh untuk mulai merokok (Fact Sheet
TCSC-IAKMI).
17. Apakah dengan pembatasan iklan/promosi/sponsorship rokok akan mempengaruhi pendapatan Pemerintah Daerah?
Kota Padang Panjang merupakan contoh
Pemda yang telah menghapus iklan/promosi/sponsor rokok. Namun pada
kenyatannya tidak mematikan sumber pendapatan daerah, bahkan mampu
memberikan pelayanan kesehatan gratis dan pendidikan gratis 9 tahun bagi
seluruh masyarakatnya.
18. Apakah pemerintah telah mengatur pengendalian produksi rokok?
Tidak seperti di negara lain, Indonesia
adalah negara di mana hampir semua teknik pemasaran produk rokok
diperbolehkan. Industri rokok di Indonesia memiliki kebebasan yang
hampir mutlak untuk mengiklankan produk dalam bentuk apapun dan melalui
hampir semua jalur komunikasi (Laporan Tahunan Sampoerna 1995, Fact
Sheet TCSC-AKMI, Industri Rokok di Indonesia), seperti memberikan sponsorship dalam kegiatan olahraga, konser musik, film, bahkan dalam berbagai kegiatan agama dan pendidikan.
Peraturan mengenai rokok masih sangat
minimal. Misalnya ada peringatan rokok tertulis di bungkus rokok dan
tidak boleh beriklan sebelum jam 9 malam, harga rokok masih sangat
rendah. Itu semua masih sangat jauh dari standar perlindungan kesehatan
internasional dari bahaya rokok yang mengharuskan:
- Total pelarangan segala bentuk iklan, promosi, dan sponsor rokok. Rokok telah disejajarkan dengan alkohol dan obat-obatan terlarang.
- Pemberlakuan 100% area bebas rokok di rumah, tempat kerja, tempat ibadah, kendaraan umum, sarana pendidikan, sarana kesehatan, dan di semua ruang tertutup seperti restoran.
- Keharusan adanya peringatan bahaya rokok dalam bentuk foto di setiap bungkus rokok yang meliputi 50% bungkus bagian depan maupun belakang dan di bagian atas bungkus.
- Merokok hanya diperbolehkan bagi usia tertentu.
19. Apa saja regulasi yang ada di Indonesia dalam upaya pengamanan produk tembakau sebagai zat adiktif bagi kesehatan?
Di Indonesia telah ada UU No. 36 tahun
2009 tentang Kesehatan. Dalam Undang-undang ini disebutkan perlunya
pegamanan produksi tembakau sebagai zat adiktif (pasal 113 ayat 2).
Namun perlu didukung mengenai RPP yang mendukung pelaksanaan UU
tersebut. RPP yang diprakasai oleh Kementrian Kesehatan, saat ini masih
dalam tahap pembahasan antar-kementerian. Sebetulnya UU Kesehatan tidak
cukup mengatur dengan detil mengenai pengendalian tembakau. Oleh karena
itu saat ini sedang diupayakan adanya UU Pengendalian Tembakau dan telah
terdaftar di proleknas.
20. Apakah fatwa haram merokok
dan peraturan pengamanan produk tembakau sebagai zat adiktif
mempengaruhi pengangguran dan pendapatan Negara?
Sumbanagn cukai rokok pada penerimaan
negara hanya sekitar 6-7 %, jauh di bawah penerimaan dari PBB dan PPh.
Bila cukai dinaikkan, penerimaan akan naik karena rokok adiktif dan
harganya in-elastis. Jika cukai rokok naik 10%, volume penjualan berkurang 0,9-3%, penerimaan cukai bertambah Rp.29-59 Triliun. (Dampak Tembakau dan Pengendaliannya di Indonesia, WHO-LDFEUI, 2009).
21. Apakah pesan kesehatan dalam bungkus rokok sudah maksimal?
Sama sekali masih jauh. Aturan
internasional mengharuskan peringatan kesehatan dalam bentuk gambar dan
harus memenuhi minimal 50% bagian muka dan belakang bungkus rokok, serta
harus ditempatkan di bagian atas bungkus. Selain itu, setiap satu
bungkus rokok harus terdiri dari 20 batang, supaya gambar peringatan
kesehatan itu jelas terlihat. Di Indonesia aturan ini masih sangat jauh,
karena peringatan baru berupa tulisan sangat kecil dan disimpan di
bagian bawah sisi belakang bungkus rokok. Selain itu beberapa merek
berbungkus sangat kecil di bawah 20 batang.
22. Apa pengaruh kenaikan cukai didalam pengendalian tembakau?
Pemaparan dalam Halaqah Tarjih tentang
Fikih Pengendalian Tembakau hari Ahad 21 Rabiul Awal 1431 H. / 07 Maret
2010 M., mengungkapkan bahwa Indonesia belum menandatangani dan
meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sehingga
belum ada dasar yang kuat untuk melakukan upaya pengendalian dampak
buruk tembakau bagi kesehatan masyarakat. Selain itu terungkap pula
bahwa cukai tembakau di Indonesia masih rendah dibandingkan beberapa
negara lain sehingga harga rokok di Indonesia sangat murah yang
akibatnya mudah dijangkau keluarga miskin dan bahkan bagi anak sehingga
prevalensi merokok tetap tinggi. Selain itu iklan rokok juga ikut
merangsang hasrat mengkonsumsi zat berbahaya ini.
23. Siapakah yang paling diuntungkan dalam penjualan rokok di Indonesia?
Pangsa pasar didominasi 3 perusahaan besar:
2001
|
2009
|
|
Gudang Garam | 32% | 21% |
Djarum | 25% | 19% |
HM. Sampoerna | 19% | 29% |
Industri rokok negara maju melakukan
ekspansi pasar sampai ke Indonesia. Philip Morris mengakuisisi Sampoerna
pada 2005 dan BAT mengakuisisi Bentoel pada 2009. 75% pangsa pasar
dikuasai beberapa industri besar. Oligopoli ini menyebabkan industri
rokok kecil bangkrut serta sangat melemahkan posisi petani tembakau (Dampak Tembakau dan Pengendaliannya di Indonesia,
WHO-LDFEUI, 2009). Bahkan pada Agustus 2009, kepemilikan saham Philip
Morris (perusahaan asal Amerika) ini telah menguasai sekitar 98% dari
total saham yang dimiliki HM Sampoerna.
Sumber: Muhammadiyah Online
0 komentar:
Posting Komentar