Ulama
adalah pewaris nabi, demikian dalam hadits disebutkan. Dikatakan demikian
karena ulama meneruskan tugas yang pernah dilakukan oleh nabi shallallahu
‘alaihi wasallam. Para
ulama adalah orang yang paling hati-hati dalam berbicara, hal ini karena mereka
tahu apa yang diucapkan akan diminta pertanggung jawabannya pada hari kiamat
kelak.
Dalam
berfatwa, para ulama juga tidak sembarang berucap. Bahkan imam Malik dahulu
pernah ditanya puluhan pertanyaan tetapi kebanyakan dijawab dengan ucapan
“aku tidak tahu”, hanya sedikit yang beliau jawab. Selain karena khawatir
menjawab sesuatu yang salah maka lebih baik berterus terang untuk mengakui ketidak
tahuannya. Para ulama mengatakan, kalimat “aku tidak tahu” adalah separuh dari
ilmu.
Pada
hari Senin (12/10/2015) dalam sebuah kajian kitab Umdatul Fikih di masjid Al
Amir Mut’ib bin Abdul Aziz di kota Riyadh, seorang ulama besar Arab Saudi,
Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya oleh seorang jamaah yang hadir dengan sebuah
pertanyaan:
“Di
negeri kami, ada peraturan pemerintah yang melarang seorang wali menikahkan
putrinya yang berusia dibawah 18 tahun. Seandainya wali tersebut pergi ke
pengacara atau petugas yang bisa memalsukan umur putrinya, bagaimana
hukumnya?.”
Syaikh
Shalih Al Fauzan menjawab: “Saya tidak tau persis kondisi yang terjadi di
negeri tersebut, hendaknya pertanyaan seperti ini ditanyakan kepada ulama
setempat karena mereka lebih tahu tentang masalahnya.”
Kemudian
ada penanya lainnya yang menanyakan kepada beliau dengan pertanyaan:
“Bagaimana
hukum jual beli di internet yang terkadang barang tersedia di tangan penjual
dan tidak jarang pula belum berada di tangannya?”
Syaikh
Shaieh Al Fauzan menjawab: “Hendaknya pertanyaan ini diajukan kepada
lembaga-lembaga ilmiyah, majami’ fiqhiyyah dan semisalnya.”
Subhananllah. Inilah ketawadhu’an
seorang ulama. Syaikh Shalih Al Fauzan, seorang ulama besar yang cukup dikenal
di Arab Saudi bahkan dunia, memberikan jawaban “tidak tahu” terhadap suatu
masalah yang dianggap sangat penting oleh penanya.
Dari kejadian ini dapat diambil hikmah dan pelajaran, yaitu:
Pertama, tidak
semua pertanyaan harus dijawab oleh seorang pengajar atau orang alim, apalagi pertanyaan
tersebut sifatnya fatwa yang berkaitan dengan keadaan di suatu daerah tertentu
yang diluar pengetahuan sang alim.
Kedua, ini salah satu
bukti kerendahan hati beliau.
Ketiga, kehati-hatian seorang
alim dalam berfatwa.
Keempat, hendaknya pertanyaan
yg bersifat khusus seperti itu ditanyakan terlebih dahulu kepada ulama setempat
karena mereka lebih tahu tentang keadaan yg terjadi, sebagaimana orang Arab
mengatakan “Warga Madinah lebih mengetahui jalannya sendiri.”
Kelima, fatwa seorang alim
dalam satu masalah bisa berbeda-beda jawabannya, karena ketika dia berfatwa
memperhatikan keadaan sang penanya, hal-hal yg meliputinya, keadaan negeri sang
penanya dan lain-lain. Karena bisa jadi satu pertanyaan yang sama diajukan
kepada seorang alim tapi jawabannya berbeda-beda.
Keenam, pentingnya
mempelajari ushul fiqh (adabul mufti wal mustafti), supaya kita lebih
berhati-hati dalam berfatwa.
Oleh: Ustadz Erwin
Priyatno, Lc
Penulis adalah Mahasiswa S2 Jurusan fiqih dan
ushul fiqih di King Saud University Riyadh KSA
0 komentar:
Posting Komentar