Sabtu, 17 Oktober 2015
0 komentar

Belajar dari Kerendahan Hati Syaikh Shalih Al Fauzan

01.25
Ulama adalah pewaris nabi, demikian dalam hadits disebutkan. Dikatakan demikian karena ulama meneruskan tugas yang pernah dilakukan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Para ulama adalah orang yang paling hati-hati dalam berbicara, hal ini karena mereka tahu apa yang diucapkan akan diminta pertanggung jawabannya pada hari kiamat kelak.
Dalam berfatwa, para ulama juga tidak sembarang berucap. Bahkan imam Malik dahulu pernah ditanya puluhan pertanyaan tetapi kebanyakan dijawab dengan ucapan  “aku tidak tahu”, hanya sedikit yang beliau jawab. Selain karena khawatir menjawab sesuatu yang salah maka lebih baik berterus terang untuk mengakui ketidak tahuannya. Para ulama mengatakan, kalimat “aku tidak tahu” adalah separuh dari ilmu.
Pada hari Senin (12/10/2015) dalam sebuah kajian kitab Umdatul Fikih di masjid Al Amir Mut’ib bin Abdul Aziz di kota Riyadh, seorang ulama besar Arab Saudi, Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya oleh seorang jamaah yang hadir dengan sebuah pertanyaan:
“Di negeri kami, ada peraturan pemerintah yang melarang seorang wali menikahkan putrinya yang berusia dibawah 18 tahun. Seandainya wali tersebut pergi ke pengacara atau petugas yang bisa memalsukan umur putrinya, bagaimana hukumnya?.”
Syaikh Shalih Al Fauzan menjawab: “Saya tidak tau persis kondisi yang terjadi di negeri tersebut, hendaknya pertanyaan seperti ini ditanyakan kepada ulama setempat karena mereka lebih tahu tentang masalahnya.”
Kemudian ada penanya lainnya yang menanyakan kepada beliau dengan pertanyaan:
“Bagaimana hukum jual beli di internet yang terkadang barang tersedia di tangan penjual dan tidak jarang pula belum berada di tangannya?”
Syaikh Shaieh Al Fauzan menjawab: “Hendaknya pertanyaan ini diajukan kepada lembaga-lembaga ilmiyah, majami’ fiqhiyyah dan semisalnya.”
Subhananllah. Inilah ketawadhu’an seorang ulama. Syaikh Shalih Al Fauzan, seorang ulama besar yang cukup dikenal di Arab Saudi bahkan dunia, memberikan jawaban “tidak tahu” terhadap suatu masalah yang dianggap sangat penting oleh penanya.
 Dari kejadian ini dapat diambil hikmah dan pelajaran, yaitu:
Pertama, tidak semua pertanyaan harus dijawab oleh seorang pengajar atau orang alim, apalagi pertanyaan tersebut sifatnya fatwa yang berkaitan dengan keadaan di suatu daerah tertentu yang diluar pengetahuan sang alim.
Kedua, ini salah satu bukti  kerendahan hati beliau.
Ketiga, kehati-hatian seorang alim dalam berfatwa.
Keempat, hendaknya pertanyaan yg bersifat khusus seperti itu ditanyakan terlebih dahulu kepada ulama setempat karena mereka lebih tahu tentang keadaan yg terjadi, sebagaimana orang Arab mengatakan “Warga Madinah lebih mengetahui jalannya sendiri.”
Kelima, fatwa seorang alim dalam satu masalah bisa berbeda-beda jawabannya, karena ketika dia berfatwa memperhatikan keadaan sang penanya, hal-hal yg meliputinya, keadaan negeri sang penanya dan lain-lain. Karena bisa jadi satu pertanyaan yang sama diajukan kepada seorang alim tapi jawabannya berbeda-beda.
Keenam, pentingnya mempelajari ushul fiqh (adabul mufti wal mustafti), supaya kita lebih berhati-hati dalam berfatwa.

Oleh: Ustadz Erwin Priyatno, Lc

Penulis adalah Mahasiswa S2 Jurusan fiqih dan ushul fiqih di King Saud University Riyadh KSA

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer
Top